INSTITUT Teknologi Bandung (ITB) merupakan salah satu PT (perguruan tinggi) pertama yang mengimplementasikan PP (Peraturan Pemerintah) No. 61/1999 yang mengharuskan PTN melaksanakan otonomi kampus. Implikasi dari PP tersebut, ITB mengubah statusnya dari semula PTN yang amat bergantung pada subsidi pemerintah menjadi PT BHMN (Badan Hukum Milik Negara) yang berupaya untuk mengelola pembiayaan penyelenggaraan PT secara mandiri, di antaranya dengan merekrut mahasiswa baru melalui seleksi mandiri.
Program seleksi mandiri di ITB tersebut dinamakan USM-ITB Terpadu yang terdiri dari 3 jalur, yaitu jalur Penelusuran Minat Bakat dan Potensi (PMBP), jalur penerimaan Fakultas Seni Rupa dan Desain (UMFSRD), dan jalur Sekolah Bisnis dan Manajemen (SBM).
Meskipun dalam beberapa tahun terakhir ini ITB sudah melaksanakan seleksi mandiri, rekrutmen mahasiswa baru melalui jalur SPMB (Seleksi Penerimaan Mahasiswa Baru) masih tetap dilakukan. Bahkan, kuota mahasiswa untuk jalur SPMB masih lebih besar dibandingkan seleksi mandiri.
Menurut Wakil Rektor Bidang Akademik dan Kemahasiswaan ITB, Prof. Dr. Ir. Adang Surahman, kuota untuk mahasiswa jalur USM sebesar 30% dari seluruh daya tampung. Pada 2006 ini, kuota untuk jalur SPMB mencapai 1.745 mahasiswa. Jumlah ini turun dibandingkan kuota tahun lalu sebesar 1.905 orang.
Pengurangan kuota tersebut, kata Adang, terkait dengan penggabungan sejumlah program studi (prodi) menjadi fakultas/sekolah. Sebagai contoh, prodi Geofisika, Metereologi, Oseanografi, Teknik Geofisika, Teknik Geologi, Teknik Perminyakan, dan Teknik Pertambangan bergabung menjadi Fakultas Ilmu Kebumian dan Teknologi Mineral (FIKTM).
**
Berkenaan dengan masih dipertahankannya jalur SPMB, Adang menjelaskan, hal itu merupakan upaya ITB memberikan akses kepada masyarakat luas yang tidak mampu secara finansial untuk dapat kuliah di ITB. Karena itu, biaya kuliah yang ditanggung calon mahasiswa (cama) yang lulus SPMB jauh lebih murah dibandingkan jalur USM-ITB Terpadu.
Sebagai contoh, cama yang lulus melalui jalur USM PMBP, selain membayar BPPP (Biaya Penyelenggaraan Pendidikan Pokok) yang besarnya Rp 2 juta per semester, diharuskan pula membayar SDPA (Sumbangan Dana Pengembangan Akademik) minimal sebesar Rp 45 juta. Sementara cama yang lulus SPMB cukup membayar BPPP, karena sebagian besar biaya kuliah melalui jalur ini masih disubsidi pemerintah dan ITB.
Karena itu, kata Adang, masyarakat kaya yang berminat kuliah di ITB seharusnya mendaftar melalui jalur USM bukan SPMB. "Dalam hal ini memang dibutuhkan keikhlasan masyarakat mampu, agar mereka ini sepenuhnya mendaftar melalui USM," kata Adang saat ditemui di kantornya, Jln. Taman Sari, Bandung, Jumat (16/6).
Dijelaskan Adang, biaya kuliah di ITB idealnya adalah Rp 18 juta per mahasiswa per tahun. Dengan demikian, biaya yang harus dikeluarkan untuk perkuliahan satu orang mahasiswa dengan asumsi selama empat tahun mengikuti (program S1) adalah Rp 18 juta dikali 4 atau sebesar Rp 72 juta. Jadi, kata Adang, sebagian besar mahasiswa jalur USM yang membayar SDPA Rp 45 juta pun masih tetap disubsidi oleh ITB.
Selama ini, sumber dana untuk biaya operasional penyelenggaraan pendidikan di ITB berasal dari tiga komponen, yaitu 25% dari pemerintah, 50% dari kerja sama penelitian yang dilakukan ITB dengan sejumlah mitranya, dan 25% lainnya dari orang tua mahasiswa.
**
Terkait dengan perubahan organisasi sejumlah prodi di ITB, maka pada buku panduan SPMB tahun ini, ITB sudah mencantumkan daya tampung per fakultas. Meskipun demikian, untuk sejumlah prodi tertentu seperti Teknik Kimia, Teknik Industri, dan Arsitektur, masih dicantumkan daya tampung per prodi. Bahkan, untuk ke depan, kata Adang, dalam buku panduan SPMB, ITB hanya akan mencantumkan daya tampung PT saja sebagaimana dilakukan oleh IPB sejak tahun lalu.
Dalam buku panduan SPMB 2006, IPB hanya mencantumkan daya tampung sebanyak 1.000 orang tanpa rincian berapa yang akan dialokasikan untuk setiap prodi.
Dengan adanya perubahan tersebut, kata Adang, mahasiswa ITB mulai dijuruskan pada prodi yang diminatinya pada tahun kedua. Sementara pada tahun pertama semua cama wajib mengikuti TPB (Tahap Persiapan Bersama). Dengan demikian, mahasiswa yang misalnya diterima di Sekolah Ilmu dan Teknologi Hayati (sebelumnya bernama Departemen Biologi), pada tahun pertama masih mempelajari materi umum. Tetapi, pada tahun kedua mahasiswa mulai diarahkan ke prodi yang diminatinya, yakni biologi atau mikrobiologi.
Bahkan mulai tahun ajaran 2008, ITB akan membuka program mayor dan minor. Sistem ini, kata Adang, memungkinkan cama mengambil sejumlah mata kuliah dari berbagai prodi, dengan ketentuan rasio antara program mayor dan minor, 70% berbanding 30%. Misalnya, mahasiswa yang program mayornya adalah prodi bioteknologi bisa mengambil program minor pada prodi teknik kimia.
Dengan demikian, kata Adang, cama yang saat seleksi tidak diterima pada prodi yang diminatinya, melalui program mayor dan minor tersebut, cama bisa mengambil sejumlah mata kuliah pada prodi yang diminatinya.
Perubahan-perubahan baik itu yang telah berlangsung maupun yang akan dilakukan nanti tidak lepas dari upaya ITB untuk terus meningkatkan kualitas akademiknya. Apalagi pada tahun 2010, ITB akan menjadi universitas berbasis riset. Dalam hal penjaminan mutu ITB ini, ada sejumlah parameter yang menjadi target mutu ITB, di antaranya persentase lulusan ITB yang memiliki IP(indeks prestasi) 3 harus mencapai 50%, persentase lulusan S-1 yang menyelesaikan kuliah tepat waktu (4 tahun) mencapai 50%, dan persentase dosen ITB berkualifikasi doktor harus mencapai 70%.
Penjaminan mutu dengan sejumlah parameter tersebut dibutuhkan ITB untuk memastikan keberlangsungan ITB serta untuk menunjukkan kontribusi nyata dalam peningkatan daya saing bangsa.
**
MENYANGKUT dengan pelaksanaan SPMB 2006, Adang mengatakan, cama harus pandai untuk mengatur strategi agar dapat diterima prodi yang diminatinya. Sejumlah strategi tersebut diantaranya, memerhatikan jumlah peminat suatu prodi pada PT tertentu. Pasalnya, kata Adang, jika pada pilihan pertama dan kedua, cama program IPA mencantumkan PT yang peminatnya sangat tinggi, maka ada kemungkinan dia akan gagal SPMB. Sebagai contoh, jika pilihan pertama adalah Arsitektur ITB (daya tampung 2006, 50 orang, peminat pada SPMB 2005, 960 orang) pilihan kedua harus ditempatkan pada PT dengan peminat yang lebih rendah, misalnya arsitektur di Undip (daya tampung pada 2006, 70 orang, peminat pada SPMB 2005, 591 orang).
Strategi pemilihan prodi dan PT ikut pula menentukan peluang cama lolos SPMB. Karena itu, jika ingin lolos SPMB, pada pilihan pertama cantumkan prodi yang diminati pada univeritas yang peminatnya tinggi dan pada pilihan kedua, universitas yang peminatnya lebih rendah.
Tambahan pula, bagi yang fanatik terhadap PT tertentu, seperti ITB, Adang menyarankan cama untuk mengambil prodi/fakultas yang peminatnya rendah. Misalnya, cama yang memilih FKITM punya peluang lebih besar untuk diterima di ITB daripada cama yang memilih Fakultas Teknik Elektro dan Informatika.
Tetapi, jika cama fanatik dengan prodi dan PT tertentu, maka jangan memilih PT yang sama-sama memiliki peminat tinggi.
Karena itu, salah menerapkan strategi bisa berakibat tidak lulus SPMB.
Namun, terkait dengan sejumlah perubahan yang telah dilakukan ITB, di antaranya pembukaan program mayor dan minor pada 2008 mendatang, cama tidak perlu khawatir lagi dengan prodi mana yang akan dipilih. Pasalnya, adanya fleksibilitas pada program mayor dan minor memberikan kesempatan bagi cama untuk kuliah pada prodi mana saja yang diminatinya. (Huminca/”Pikiran Rakyat”)*** 19 Juni 2006
Senin, 19 Juni 2006
Langganan:
Postingan (Atom)