BANDUNG, (PR).- Pendidikan ekonomi di Indonesia belum dapat memacu pertumbuhan ekonomi nasional. Pasalnya, tidak ada komunikasi antara pakar ekonomi dan guru sehingga pengetahuan mereka tidak berkembang. Selain itu, ekonomi hanya diajarkan sebagai hafalan, bukannya sebagai ilmu untuk mengambil keputusan.
Persoalan ini disampaikan Ketua Program Studi (Prodi) Ekonomi Umum dan Koperasi UPI, Dr. Kusnendi, M.S. dalam "Seminar Nasional Tantangan Pendidikan Ekonomi di Masa Depan" di Gedung JICA Jln. Dr. Setiabudi Bandung, Sabtu (12/1). Pembicara lain yang turut hadir dalam acara yang juga temu alumni ini adalah Guru Besar UPI Prof. Dr. H. Syamsuri, S.A., Prof. Dr. H. Suryana, serta Kepala Dinas Pendidikan Kota Bandung Oji Mahroji.
Menurut Kusnendi, pendidikan ekonomi yang baik mampu membuat siswa menjadi "melek ekonomi". Artinya, mereka yang berpotensi sebagai konsumen akan menjadi konsumen yang kritis, sementara yang berpotensi menjadi tenaga kerja akan menjadi tenaga kerja yang produktif. "Atau yang mau jadi produsen akan menjadi produsen yang bertanggung jawab," katanya.
Hal yang sama diungkapkan oleh Oji Mahrohi. Lulusan Jurusan Ekonomi Umum UPI tahun 1976 ini menyoroti mata pelajaran ekonomi dan koperasi yang tidak tergambar dalam perilaku siswa. "Soalnya, untuk memahami koperasi itu butuh teladan, bukan hanya konsep," tuturnya.
Namun, Suryana berpendapat lain. Guru Besar UPI yang masih muda ini mengatakan, buruknya sistem ajar ekonomi karena banyak guru yang bukan lulusan ekonomi, malah mengajarkan mata pelajaran tersebut. Padahal, ekonomi bukan ilmu yang dengan mudah dipelajari hanya dari buku. "Makanya guru harus bersertifikasi untuk menjaga kompetensi," ujarnya. (CA-180)*** - Harian PIKIRAN RAKYAT